Ber-keluarga adalah fitrah setiap manusia.
Maka tatkala kaum wanita Barat meneriakkan NOMAR ( No Married ) dan DINK
( Double Income No Kids ) hancurlah sendi-sendi keluarga di sana. Majalah Times
( edisi 28 Juni 1983 ) mengungkapkan bahwa 40 % dari seluruh anak-anak di
AS yang lahir antara tahun 1970-1984 menghabiskan masa kanak-kanak mereka tampa
kasih sayang orang tua -karena orang tua mereka bercerai atau karena orang tua
mereka ( memang ) tidak pernah menikah. Majalah Fortune ( edisi 2
September 1995 ) mengungkapkan banyaknya wanita eksekutif di Barat yang
mengalami stress. Mereka merasakan kekecewaan, ketidak puasan dan kekhawatiran
, sehingga hidup dan jiwa mereka menjadi kacau. Bahkan umumnya mereka mengalami
perceraian dan gangguan hubungan sosial dalam keluarga. Lebih jauh lagi, Jurnal
The Economist edisi September 1995 memberitakan fakta bahwa di negara
Eropa Utara, institusi keluarga tengah mengalami keruntuhan. Di Swedia dan
Denmark, setengah dari bayi-bayi- lahir- dari ibu yang tidak menikah. Setengah
dari perkawinan di Swedia dan Norwegia berakhir dengan perceraian, dan orang
tua yang tidak menikah lagi karena sudah bercerai tiga kali lebih banyak dari
jumlah perkawinan. Akibatnya jumlah orang tua tunggal meningkat sampai 18 %
pada tahun 1991. Istilah single parent ( orang tua tunggal ) dan nuclear
family ( keluarga inti ; yang hanya terdiri dari ayah dan ibu )
menggambarkan betapa sepi dan keringnya fungsi kekeluargaan dalam masyarakat
modern ( Barat ). Dari Dokumen Rencana Aksi pada saat Konferensi Beijing yang
lalu ( 1995 ) membuktikan kesuksesan tuntutan para ‘feminist’ yang menginginkan
kebebasan bagi para wanita dalam menentukan bentuk dan komposisi keluarga (
apakah orang tua tunggal atau orang tua dari pasangan sesama wanita ) , kebebasan
orientasi seksual ( apakah heteroseksual ataupun homo seksual ) dan kebebasan
reproduksi ( punya anak atau tidak ). Serta masih banyak lagi suara sumbang
kaum ‘feminist’ yang memporak porandakan dan menjungkir balikkan konsep
keharmonisan keluarga dalam suatu masyarakat. Dan karena semua itu adalah suara
kebebasan yang tercetus dari ide kapitalisme ( yang rusak ) maka tidaklah
terlalu mengherankan apabila ‘ gerakan ‘ tersebut mengakibatkan krisis
nilai-nilai keluarga bagi masyarakat manapun yang menerapkan ide tersebut !
KELUARGA, SEBUAH SISTEM SOSIAL
Dalam pandangan manapun, keluarga dianggap
sebagai elemen sistem sosial yang akan membentuk sebuah masyarakat. Adapun
lembaga perkawinan, sebagai sarana pembentuk keluarga adalah lembaga yang
paling bertahan dan digemari seumur kehadiran masyarakat manusia. Perbedaan
pandangan hidup dan adat istiadat setempatlah yang biasanya membedakan definisi
dan fungsi sebuah keluarga dalam sebuah masyarakat Peradaban suatu bangsa
bahkan dipercaya sangat tergantung oleh struktur dan interaksi antar keluarga
di dalam masyarakat tersebut.
Dalam bukunya " Sosiologi Suatu
Pengantar " , Prof.Dr.P. J. Bouman menjelaskan
tentang pengertian tatanan keluarga sebagai berikut ; Pada zaman dahulu
famili itu adalah satu golongan yang lebih besar dari keluarga. Kebanyakan
famili terdiri dari beberapa keluarga atau anak-anak dan cucu-cucu yang belum
kawin yang hidup bersama-sama pada suatu tempat, dikepalai oleh seorang kepala
famili yang dinamakan patriach (garis ayah ). Ikatan famili itu akan mempunyai
pelbagai fungsi sosial, kesatuan hukum, upacara-upacara ritual dan juga
pendidikan anak. 1)
Dalam pandangan feminis, keluarga dilihat
sebagai bentuk yang dicanggihkan dari perbudakan ( famulus dalam bahasa
Latin berarti budak ). Dari sudut pandang ini bisa dipahami usaha gigih kaum
feminis menentang lembaga perkawinan yang dianggapnya sebagai lembaga
pelestarian perbudakan laki-laki atas wanita.2)
________________________________
1) Prof Dr P J Bouman dalam ‘ Sosiologi
Suatu Pengantar ‘ , Pustaka Sardjana, Jakarta.
2) Debra H Yatim dalam artikel di ‘
Media Indonesia ‘, Rabu 26 November 1997
Perspektif di atas tentu saja searah dengan
pandangan rata-rata ilmuan Barat yang beranggapan bahwa sosiologi atau ilmu
sosial adalah ilmu pengetahuan tentang hidup manusia dalam hubungan
nya di suatu masyarakat. Sosiologi dianggap
membantu untuk memahami latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari
pelbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat. 3) Dari pandangan ini sistem
sosial dianggap sebagai sistem yang paling mampu untuk menyelami hakekat
kerjasama dan kehidupan bersama dalam segala macam bentuk-bentuk yang
ditimbulkan akibat hubungan antar manusia ( baik laki-laki maupun wanita )
termasuk pernikahan atau keluarga.
Berbeda dengan itu, Syekh Taqiyuddin An
Nabhany dalam bukunya " Nizham Al Ijtimaa’i fil Islam ( Sistem
Sosial dalam Islam ) " membedakan istilah sistem sosial ( Nizham
Al Ijtimaiy ) dengan sistem sosial kemasyarakatan ( Anzimatul Mujtama’ ).
Sistem sosial ( Nizham Al Ijtimaiy ) menurut beliau adalah seperangkat
peraturan yang mengatur pertemuan antara pria dan wanita atau sebaliknya, dan
mengatur hubungan yang muncul antara keduanya, serta segala sesuatu yang
menyangkut hubungan tersebut. Sedangkan sistem sosial kemasyarakatan ( Anzimatul
Mujtama’ ) adalah peraturan bagi masyarakat , yang mengatur hubungan
yang terjadi antara sesama manusia yang hidup dalam masyarakat tertentu tampa
diperhatikan pertemuan atau perpisahan diantara anggota masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul berbagai macam peraturan yang berbeda-beda sesuai dengan
jenis dan bentuk hubungan yang mencakup aspek ekonomi, hukum , politik,
pendidikan, sanksi, perdagangan, peradilan dan lain sebagainya.4)
Pembedaan fakta di atas nampaknya menjadi
sesutau yang penting dalam kerangka memahami fungsi dan kedudukan keluarga
dalam masyarakat Islam. Apalagi dapat dibuktikan bahwa kehancuran sendi-sendi
kehidupan keluarga dewasa ini sedikit banyak dipengaruhi dari kerancuan dan
adanya persepsi yang keliru terhadap dua istilah di atas ( sistem sosial dan
sistem kemasyarakatan ). Apalagi pemahaman tentang keluarga yang berkembang
saat ini sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu yang berlaku di
masyarakat. Sehingga sewaktu para ‘feminist’ yang menamakan dirinya pemberi
kebebasan itu berteriak, mengajak kaum wanita untuk melepaskan diri dari
belenggu keluarga -seketika itu pula gemanya bersambut dan mendapatkan
pengekornya. Padahal jelas ide-ide tersebut berasal dari pandangan hidup
kapitalis yang memang menghendaki kebebasan tampa batas-sepanjang bermanfaat
bagi mereka.Dari pemahaman ini akhirnya seorang wanita dengan tampa berdosa
dapat berhubungan langsung dengan seorang pria hanya untuk sekedar senang-senang
( just to have a fun ) dengan alasan kebebasan pribadi, walau tampa ada
desakan yang mengharuskan hubungan itu. Akhirnya percampuran ( ikhtilath )
antara laki-laki dan wanita tampa suatu keperluan dan kepentingan menjadi
pemandangan sehari-hari dalam masyarakat manapun (akibat globalisasi ). Bahkan
nilai-nilai ‘moral’ yang dahulu dianggap sakral pun ( pada masyarakat tertentu
) saat ini tidak memiliki pengaruhnya lagi. Hubungan dan pergaulan yang serba
boleh ini ( permissivieme ) akhirnya mengakibatkan krisis moral,
hancurnya tatanan nilai luhur keluarga dan maraknya kegiatan yang mengumbar
syahwat semata. Akibat langsungnya adalah munculnya kekacauan kepribadian ( split
personality ) yang ditandai dengan kekacauan berfikir, perasaan yang rusak
dan hilangnya sifat-sifat teguh dan hancurnya tatanan nilai.
Berangkat dari kondisi di atas, menjadi suatu
keharusan untuk mengetahui hakikat sistem sosial kemasyarakatan dalam Islam
secara menyeluruh dan mendalam. Sehingga dapat diketahui problematika yang
timbul dari hasil pertemuan antara pria dan wanita serta hubungan yang muncul
dari pertemuan tadi lalu bagaimana pemecahannya. Solusi peradaban Barat telah
terbukti kandas dalam memecahkan masalah dia atas. Kini hanya syariat Islam lah
yang mampu memecahkan problematika di atas dengan sangat memuaskan akal,
menentramkan hati dan sudah pasti pula bersesuaian dengan fitrah insani.
____________________
3) Prof Miriam Budiardjo dalam ‘
Dasar-dasar Ilmu Politik ‘ , Gramedia, Jakarta
4) Taqiyyuddin An Nabhany dalam ‘
Nizhomul Ijtimaa’i Fil Islam ‘ , Daarul Ummah, Beirut
KELUARGA DALAM MASYARAKAT ISLAM
Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan
sistem peraturan dari Allah SWT yang mengandung karunia yang besar dan hikmah
yang agung. Melalui perkawinan dapat diatur hubungan laki-laki dan wanita (
yang secara fitrahnya saling tertarik ) dengan aturan yang khusus. Dari hasil
pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah satu tujuan
dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk keluarga
yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari
sebuah perkawinan.
Islam telah memerintahkan dan mendorong untuk
melakukan pernikahan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata
bahwasanya Rosulullah SAW bersabda :
" Wahai para pemuda, barang siapa
diantara kamu telah mampu memikul beban, maka hendaklah ia kawin, karena dengan
menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga ke’hormatan’, dan barang siapa
yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa itu dapat menjadi
perisai"
Dari pertemuan antara wanita dan pria inilah
kemudian muncul hubungan yang berkait dengan kemaslahatan mereka dan
kemaslahatan masyarakat tempat mereka hidup dan juga hubungannya dengan negara.
Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam ( syariat Islam ) atas manusia
selalu mengaitkannya dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi dari
masyarakat sendiri adalah ‘ Kumpulan individu ( manusia ) yang terikat oleh
pemikiran, perasaan dan aturan ( sistem ) yang satu ( sama )’ 5). Hal ini
berarti dalam sebuah masyarakat mesti ada interaksi bersama antar mereka yang
terjadi secara terus menerus dan diatur dalam sebuah aturan yang fixed.
Rosulullah SAW telah menjelaskan status dan hubungan individu dengan masyarakat
dengan sabdanya :
" Perumpamaan orang-orang Muslim ,
bagaimana kasih sayang yang tolong menolong terjalin antar mereka, adalah
laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka
seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya dengan berjaga ( tidak tidur )
dan bereaksi meningkatkan panas badan ( demam ) "
( HR Muslim )
Oleh karena itu , Islam memandang
individu-individu, keluarga, masyarakat dan negara sebagai umat yang satu dan
memiliki aturan yang satu. Di mana dengan peraturan dan sistem nilai tersebut,
manusia akan dibawa pada kehidupan yang tenang, bahagia dan sejahtera.
Syariat Islam sebagai aturan bagi individu
muslim, keluarga, masyarakat dan negaranya, secara unik dan pasti dapat
diterapkan di tengah kehidupan masyarakat manapun . Penerapan aturan tersebut
tentu saja saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Jaminan
terlaksananya penerapan syariat Islam dilandasi oleh beberapa asas di bawah ini
: 6)
1. Keadilan Syariat Islam
Islam menjamin hak-hak keadilan manusia,
sebagai makhluk paling mulia, mewujudkan kesejahteraan dan ketenangan jiwa yang
hakiki, serta kebahagiaan hidup dan keterpeliharaan urusan mereka dalam Islam.
Allah SWT berfirman :
" Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an
sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman "
( QS Al-Isra : 82 )
Juga firman-Nya :
" Sesungguhnya Al-Qur’an ini
memberikan petunjuk kepada ( jalan ) yang lebih lurus..."
( QS Al-Isra : 9 )
___________________
5) Lihat ,Muhammad Husein Abdullah dalam
‘Mafaahim Islamiyyah’ Daarul Bayaariq,Beirut
6) Lihat, A. Aziz Al Badri dalam ‘
Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam’, GIP, Jakarta
Makna keadilan syariat Islam dipastikan
karena aturannya bersumber dari Al-Kholik , Allah SWT yang tidak memiliki
kepentingan apapun untuk membela satu pihak dan menzolimi pihak yang lain.
Dalam satu hadist disebutkan, bahwa seandainya manusia seluruhnya menyembah
Allah, maka tidak akan menambah kebesaran Allah sedikitpun, dan seandainya
seluruh manusia kufur kepada Allah maka tidak akan mengurangi keagungan dan
kebesarannya sedikitpun. Berbeda dengan peraturan yang dibuat manusia.
Sedandainya manusia diberi hak membuat peraturannya sendiri, maka dia akan
membuat peraturan yang menguntungkan mereka dan dipastikan akan merugikan pihak
yang lain bahkan menindasnya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan kepada kaum
muslimin untuk berlaku adil dalam menerapkan syariat Islam. Bahkan untuk
masyarakat non muslim. Hal ini dipastikan dengan firman-Nya :
" Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang-orang yang benar sebagai penegak keadilan , dan
janganlah sekali-kali kbencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk (
berbuat ) tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dendan
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan"
( QS Al Maidah : 8 )
2. Wewenang dan Kemampuan Daulah Islamiyah
dalam penerapan Syariat Islam di tengah-tengah masyarakat.
Peranan negara dalam penerapan syariat Islam
sangatlah penting dan menentukan. Karena negara sendiri adalah Kepemimpinan
Umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, dengan fungsi menerapkan hukum-hukum
syariat Islam dan menyebarkan Islam ke segenap penjuru alam. 7) Negara juga
tidak akan membeda-bedakan individu rakyat dalam aspek hukum, peradilan maupun
dalam menjamin kebutuhan rakyat dan sebagainya. Seluruh rakyat akan
diperlakukan sama tampa memperhatikan ras, agama dan warna kulit.
Bahkan dalam fungsi inilah kesejahteraan
masyarakat di bidang ekonomi akan dijamin. Negara dalam masyarakat Islam
memiliki kewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap individu. Bahkan
apabila seorang tidak mampu bekerja, maka negara wajib menyediakan sarana
pekerjaan tersebut. Semua ini berlandaskan kepada Sabda Rosulullah SAW :
" Seorang Imam ( pemimpin ) adalah
pemelihara dan pengatur urusan ( rakyat ) dan ia akan diminta pertanggung
jawaban terhadap rakyatnya "
( HR Bukhari dan Muslim )
Dalam realisasinya Rosulullah SAW ( yang saat
itu berkedudukan sebagai kepala negara ) pernah memberikan dua dirham kepada
seseorang. Kemudian beliau berkata kepadanya :
" Makanlah dengan satu dirham, dan
sisanya belikanlah kampak, lalu gunakan ia untuk bekerja "
Dari sinilah Imam Al Ghazali rahimahullah
, menyatakan bahwa wajib atas negara memberikan dan meyediakan sarana-sarana
pekerjaan kepada pencari kerja. Menciptakan lapangan pekerjaan adalah kewajiban
negara dan merupakan bagian dari tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan
pengaturan urusan rakyat.
Dalam proyeksi masa depannya, apabila
terwujud kembali kehidupan Islam , maka Daulah Islam dalam Undang-undang nya
akan secara tegas mengatur urusan ini, yaitu negara menjamin nafaqah (
biaya ) hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan atau jika
tidak ada orang yang wajib menganggung nafaqahnya ( sanak familinya ). Dan
negara berkewajiban menampung orang lanjut usia dan orang-orang cacat. 8)
_______________________
7) lihat , Taqiyuddin An Nabhany dalam
" Al-Khilafah "
8) lihat, Taqiyyuddin An Nabhany dalam
" Nizhamul Islam " , Daarul Ummah, Beirut.
FUNGSI SAUDARA
Salah satu fungsi keluarga yang penting
selain untuk meneruskan keturunan adalah " persaudaraan ". Dalam
Islam hubungan persaudaraan begitu erat hingga berkonsekuensikan hukum dan
kewajiban. Islam telah menjadikan hubungan keluarga berkonsekuensi terhadap "
hukum waris " ( bagi yang berhak mendapat-kan warisan ) termasuk
kewajiban memenuhi kebutuhan nafaqah-nya. Juga berkonsekuensi terhadap
kewajiban " silaturahmi " . Konsekuensi hukum dan ikatan
kekeluargaan inilah yang tidak akan di dapatkan oleh jenis sistem sistem
keluarga manapun. Bahkan hukum adat yang tumbuh di daerah tertentu pun tidak
akan mampu berlaku adil dalam rangkan memenuhi aturan-aturan kekeluargaan ini.
Hal ini bisa dimaklumi, mengingat terbatasnya kemampuan manusia.
Dalam Islam, setiap permasalahan mendapatkan
jawabannya secara lengkap dan tuntas. Setiap komponen dalam anggota
masyarakatnya pun saling terkait dan berhubungan satu dengan yang lainnya
membentuk satu aturan hukum yang harmonis.
Apabila seorang individu dalam Islam miskin,
lalu dia tidak mampu bekerja, dan tidak mampu pula mencukupi nafkah anggota
keluarganya yang wajib dinafkahi, maka kewajiban itu dibebankan kepada para
kerabat dan muhrim ( saudara ) nya. Ini dipertegas oleh Allah SWT dalam
firman-Nya :
" Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya , dan warispun
berkewajiban demikian "
( QS Al Baqarah : 233 )
Ayat di atas dengan jelas dan tegas
mewajibkan penanggungan nafkah oleh kerabat dan ahli waris. Maksud lafadz "
Al Waarits " pada ayat ini adalah semua orang yang berhak mendapatkan
warisan dalam semua keadaan. Dan berarti juga berkewajiban menanggung nafkah
saudaranya yang tidak mampu. Inilah fungsi persaudaraan yang mulia dalam Islam.
Rosulullah SAW telah bersabda :
" Kamu dan hartamu adalah untuk (
keluarga dan ) bapakmu "
( HR Ibnu Majah )
Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah
kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya sedang ia berkemampuan untuk
itu, maka negara berhak memaksa orang itu untuk memberikan nafkah yang menjadi
kewajibannya.
Barulah, apabila seseorang tidak mampu memberi
nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungannya, dan diapun tidak
memiliki lagi sanak kerabat yang mampu menanggung bebannya tersebut, maka
kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada negara ! Wajib atas negara untuk
memenuhi seluruh kebutuhan pokoknya, karena itu memang kewajibannya !
Dalam sebuah hadist Rosulullah SAW
menyebutkan :
"
Barang siapa yang meninggalkan beban, maka itu bagian kami. Dan barang siapa
yang meninggalkan harta benda, maka itu bagian ahli warisnya " .
Wallahu a’lam bissowab !
Keluarga, Maryarakat Dan Lingkungan
Diposting oleh
Maulana Fajri
Rabu, 26 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar